Menyaksikan film bertajuk tentang salah satu Pahlawan Nasional, HOS Tjokroaminota di salah satu stasiun televisi, maka kita dapat mengetahui bahwa ternyata tokoh-tokoh pahlawan seperti Soekarno (proklamator), Semaun, Muso, Kartosuwiryo, Agus Salim, dan masih banyak lainnya, adalah murid dari Tjokroaminoto.
Tjokroaminoto merupakan pemimpin partai Sarekat Islam, partai terbesar pada masa itu. Perjuangan beliau dalam membela nasib bangsa, tidak mengenal menyerah. Beliau berani menghadapi Belanda dan beliau dengan lantang menyatakan bahwa bangsa Indonesia harus membentuk pemerintahannya sendiri. Dalam perjuangannya itu, Tjokroaminoto juga mempersatukan keberagaman bangsa yang berbeda suku, agama, dan ras. Persatuan sudah mulai tercipta pada jamannya.
Walaupun demikian, perjuangan beliau juga menghadapi tantangan yang cukup besar baik dari pemerintah Belanda, maupun dari kalangan priyayi, bahkan dari muridnya sendiri. Konsep yang diajarkan oleh Tjokroaminoto, diserap oleh murid-muridnya dalam versi yang berbeda. Semaun dan Muso dengan paham komunisnya, Kartosuwiryo dengan Darul Islam, dan Soekarno dengan nasinalismenya.
Satu pelajaran yang dapat diambil dari film tentang Tjokroaminoto, bahwa dalam perjuangan hidup dan mencari maknanya dapat anda lakukan dengan “berhijrah” setinggi-tingginya langit, sepintar-pintarnya siasat, dan semurni-murninya tauhid.
“Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto (lahir di Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur, 16 Agustus 1882 – meninggal di Yogyakarta, Indonesia, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun), atau yang lebih dikenal dengan nama H.O.S Cokroaminoto, merupakan seorang pemimpin salah satu organisasi yaitu Sarekat Islam (SI).[1][2][3]
Kehidupan pribadi
Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai Bupati Ponorogo.
De Ongekroonde van Java atau “Raja Jawa Tanpa Mahkota” bernama Tjokroaminoto adalah salah satu pelopor pergerakan di indonesia dan sebagai guru para pemimpin-pemimpin besar di indonesia, berangkat dari pemikiran ialah yang melahirkan berbagai macam ideologi bangsa indonesia pada saat itu, rumah ia sempat dijadikan rumah kost para pemimpin besar untuk menimbah ilmu padanya, yaitu Semaoen, Alimin, Muso, Soekarno, Kartosuwiryo, bahkan Tan Malaka pernah berguru padanya, ia adalah orang yang pertama kali menolak untuk tunduk pada Belanda, setelah ia meninggal lahirlah warna-warni pergerakan indonesia yang dibangun oleh murid-muridnya, yakni kaum sosialis/komunis yang dianut oleh Semaoen, Muso, Alimin, Soekarno yang nasionalis, dan Kartosuwiryo yang islam merangkap sebagai sekretaris pribadi. Namun, ketiga muridnya itu saling berselisih menurut paham masing-masing. Pengaruh kekuatan politik pada saat itu memungkinkan para pemimpin yang sekawanan itu saling berhadap-hadapan hingga terjadi Pemberontakan Madiun 1948 yang dilakukan Partai Komunis Indonesia karena memproklamasikan “Republik Soviet Indonesia” yang dipimpin Muso dan dengan terpaksa presiden Soekarno mengirimkan pasukan elite TNI yakni Divisi Siliwangi yang mengakibatkan “abang” sapaan akrab Soekarno kepada Muso pemimpin Partai komunis pada saat itu tertembak mati 31 Oktober, dan dilanjutkan pemberontakan oleh Negara Islam Indonesia(NII) yang dipimpin oleh Kartosuwiryo dan akhirnya hukuman mati yang dijatuhkan oleh Soekarno kepada kawannya Kartosuwiryo pada 12 September 1962. Pada bulan Mei 1912, HOS Tjokroaminoto mendirikan organisasi Sarekat Islam yang sebelumnya dikenal Serikat Dagang Islam dan terpilih menjadi ketua.
Salah satu trilogi darinya yang termasyhur adalah Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana perjuangan Indonesia pada masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang kemerdekaan. Dari berbagai muridnya yang paling ia sukai adalah Soekarno hingga ia menikahkan Soekarno dengan anaknya yakni Siti Oetari, istri pertama Soekarno. Pesannya kepada Para murid-muridnya ialah “Jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator“. Perkataan ini membius murid-muridnya hingga membuat Soekarno setiap malam berteriak belajar pidato hingga membuat kawannya, Muso, Alimin, Kartosuwiryo, Darsono, dan yang lainnya terbangung dan tertawa menyaksikannya.
Tjokro meninggal di Yogyakarta, Indonesia, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun. Ia dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta, setelah jatuh sakit sehabis mengikuti Kongres SI di Banjarmasin.” (source: wikipedia)
Christkaizen 2016
Discussion
No comments yet.